A Light in Dark Places/id
From Gospel Translations
Nelcemanoppo (Talk | contribs) |
JoyaTeemer (Talk | contribs) |
||
Line 1: | Line 1: | ||
- | {{ | + | {{info|Suatu Sinar di Tempat-tempat Gelap}} |
“Roh Kudus telah mendorong orang-orang taat untuk terus bertepuk tangan karena sukacita sampai kedatangan Juruselamat yang dijanjikan,” sebagaimana ditulis oleh John Calvin dalam komentarnya tentang Mazmur 47:1-2. Paulus pasti akan sangat setuju! Menulis dari penjara di mana ia tidak tahu untuk melepaskan diri selain eksekusi atas dirinya, maka apa yang muncul dalam benaknya adalah sukacita. Sukacita adalah apa yang menjadi surat untuk Orang-orang Filipi. Begitu bersukacitanya Orang-orang Filipi sehingga George B. Duncan pernah menyebutnya sebagai “hidup dengan sukacita yang tak putus-putusnya.” Kebalikan dari sukacita adalah dukacita, dan kita tidak ditakdirkan untuk berdukacita. Para Pembaharu mendapati sentralitas dari sukacita dalam kasih orang-orang Kristen ketika mereka berteguh hati bahwa tujuan utama kita dalam kehidupan adalah “memuliakan Allah dan menikmati kasihNya selamanya” (WSC, Q. 1). <br>Orang-orang Kristen sudah tentu tergoda untuk merasa putus-asa dan tertekan oleh tekanan keadaan yang amat hebat. Namun dalam situasi seperti itu, kita harus berkata kepada diri kita sendiri bahwa kita tidak patut merasakan apa yang kita rasakan! Paulus, yang tahu bahwa berada di dalam penjara, didera dan diludahi, tidak diacuhkan dan diabaikan, mengajak kita untuk bersukacita, tanpa menghiraukan apa yang kita rasakan: “Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan; sekali lagi kukatakan, bersukacitalah” (Filipi 4:4). <br>Sukacita Digambarkan <br>Paulus bukanlah seorang yang meminta orang lain melakukan apa yang ia sendiri tidak lakukan. Itulah sebabnya, kita bisa melihat dari catatan selama hidupnya bahwa ia bersukacita bahkan dalam situasi yang sangat sulit dan penuh ujian. <br>Dipenjarakan karena ketaatan pada Injil, rasul ini kehilangan kebebasan dan martabatnya. Ia mungkin mempunyai dendam pribadi tentang keadaannya. Pastilah, orang-orang Filipi sangat sulit untuk memahami hikmah di balik semua ini: bahwa hamba Allah yang sangat berharga dikurung di dalam penjara. Sebagian orang mempertanyakan kebijaksanaan atau kedaulatan Allah. Bahkan sebagian mungkin telah mempertanyakan kedua-duanya! <br>Perasaan Paulus mungkin telah memperlihatkan bahwa depresi, dendam, atau amarah adalah respons yang tepat. Namun sebaliknya, rasul tersebut mencari hal-hal baik dari keadaannya seperti itu. Akibat dari pemenjaraannya, sebagian anggota pengamanan istana Kaisar telah diperkenalkan kepada Injil. Paulus boleh saja dipenjara namun “firman Allah tidak terbelenggu” (2 Tim. 2:9). Bagi sang rasul, penginjilan bagi pengawal penguasa Romawi ini patut dibayar dengan penderitaannya. Kendati berada dalam bahaya, Paulus mampu bersukacita karena ia melihat rencana lain, yaitu sesuatu yang mempertimbangkan motif yang lebih besar daripada kesenangan dirinya saat ini.<br>Paulus mempunyai musuh yang ingin mencelakakannya. Yang mencengangkan adalah bahwa musuh tersebut adalah teman sesama pemberita Injil yang iri dengan keberhasilan dan popularitas Paulus. Mereka berkhotbah untuk memperburuk penderitaan Paulus, yang menyangka bahwa dengan bertindak demikian maka mereka akan “memperberat bebanku dalam penjara” (Fil. 1:17). Sebagian kelihatan cukup senang melihat sang rasul menerima apa yang mereka anggap patut diterimanya. <br>Paulus berada di bawah kekuasaan pengadilan Romawi. Pada pasal pertama ia telah mengatakan tentang kemungkinan akan kematiannya (Fil. 1:20). Kemudian, ia lebih memperluas hal ini dengan mengatakan, “Aku akan dicurahkan sebagai korban minuman” (2:17). Ini adalah pengakuan yang reaslistis dari sang rasul bahwa kerja keras dan penderitaannya akan mengantar ia ke kesyahidan. Apakah rasul putus asa? Apakah ia mendendam? Sama sekali tidak! “Aku bersukacita dan bersukacita dengan kamu sekalian,” tambahnya. <br>Sukacita Menjelma <br>Dapatkah kita menguraikan dengan lebih jelas apa yang dimaksud dengan sukacita dari apa yang ditulis Paulus di Filipi? Dua kebenaran teologis membawa sumber sukacita ke titik fokus. Pertama, Sukacita adalah hasil dari kebersamaan kita dengan Kristus. Allah menciptakan kita, dan kemudian menciptakan kita kembali dalam Kristus, untuk menjalin hubungan yang mendalam dan kekal; ini adalah sumber dari sukacita kita yang paling besar. Namun tidak ada suatu hubungan yang melebihi persahabatan kita dengan Yesus Kristus dalam Injil. Paulus memulai suratnya kepada orang-orang Filipi dengan mengingatkan para pembaca Kristen di sana tentang hubungan mereka dengan Yesus Kristus: mereka ada “di dalam Kristus” (1:1). Dengan melakukan hal itu, Paulus menekankan suatu kebenaran fundamental. Iman, sebagaimana Yesus peringatkan kepada murid-muridnya, adalah percaya “di dalam” Kristus (Joh 14:12). Iman mencakup suatu kesatuan dimana kita sepenuhnya bergantung pada sumber dari yang lain. Kebenaran ini dijelaskan dalam analogi hortikultural Yesus. Ia adalah pokok anggur, kita adalah carang-carangnya (Joh 15). Yesus meyakinkan para muridnya: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (v. 11). Tidak jelas apakah Yesus ingin mengatakan bahwa orang percaya adalah penerima sukacita atau obyek sukacita. Mungkin kedua-duanya. Kristus mengembalikan kepada kita – yang telah kehilangan sukacita – sukacita yang Ia dapatkan pada kita! Dan ketika Ia melihat kita berbuah sebagaimana seharusnya, termasuk, sudah tentu, sukacita (Gal. 5:22), ini membuat Ia bersukacita juga! Mungkin sekarang kita bisa melihat pentingnya sukacita dalam hidup kita: karena hal itu menyenangkan hati Juruselamat kita! <br>Kedua, sukacita mengalir dari rasa manisnya kasih karunia. Jawaban atas dukacita adalah mengingatkan diri kita tentang bagaimana nasib kita apabila jauh dari kasih karunia Allah. “Kasih karunia, adalah suara yang sangat indah,” sebagaimana ditulis oleh Philip Doddridge, dengan demikian menggemakan apa yang selalu dirasakan oleh orang Kristen tentang perlakuan Allah terhadap kita. Kasih karunia adalah kata-kata pembuka dan penutup dari surat ini (Fil. 1:2; 4:23). Dan kalimat pembuka berikut ia beritahukan kepada orang-orang Filipi tentang betapa ia bersukacita setiap kali ia mengingat akan mereka, serta menambahkan bahwa sukacita itu adalah karena “kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia” (1:7). Orang Kristen mendapatkan sukacita mereka sebagaimana Allah telah memperlakukan mereka.<br>Sukacita berasal dari pengetahuan akan nilai dari apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Ketika Paulus menjadi orang Kristen, sesuatu terjadi padanya: penilaian yang ia berikan terhadap sesuatu yang ada di dunia ini berubah. Kasih karusia Allah menjadi obyek dari kesenangan utamanya. Sebaliknya, baubles dunia ini yang ia perkirakan berasal dari kata Yunani skybala — sampah yang diserahkan secara sensitif dalam Versi Standar Inggris, tetapi lebih tepat adalah “kotoran hewan” (3:8). Sebagai perbandingan terhadap apa yang Allah telah anugerahkan kepadanya – kebenaran yang bukan miliknya — Paulus terdesak untuk ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kasih karunia Allah yang luar biasa ini (3:7–10). <br>Sukacita Dikendalikan <br>Ada dua hal: Pertama, sepanjang yang kita bisa, kita harus belajar mengendalikan perasaan kita. Ada berbagai macam depresi, dan sebagian adalah akibat dari gangguan fisik dan psikologis yang kompleks. Akan tetapi ada saatnya dimana kita merasa depresi secara spiritual atau bahkan dengan alasan yang tidak jelas. Kadang-kadang hal terbaik yang harus kita lakukan dengan perasaan kita adalah menantangnya: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah; Sebab aku bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku “ (Mzm. 42:11). <br>Terlalu sering kita menghabiskan waktu dalam hari-hari kita bersedih dan murung, semua itu karena kita tidak secara serius melakukan apa yang kita tahu adalah benar tentang kebenaran Allah dan perlindungannya terhadap kita. Kita harus berdoa dan minta Allah untuk memberikan kekuatan kepada kita untuk melawan keadaan depresif dan melankolis itu. Ada yang disebut kemauan yang tak akan tunduk kepada kehendak Allah. Kita bisa menjadi keras hati, menolak untuk melihat karya Allah yang baik. Ini adalah penyakit kanker yang akan menghancurkan kita. <br>Kedua, tidak perduli apapun keadaan kita, kita harus mencari alasan yang mendorong kita untuk bersukacita. Kita juga harus “bersukacita dalam penderitaan” (Rom. 5:3). Saya ingat cerita tentang Horatio Spafford, seorang pengusaha di Chicago di tahun 1873 yang kehilangan seluruh bisnisnya dalam kebakaran di Chicago. Ia mengirim istri dan ke empat anak perempuanya ke Inggris dengan kapal SS. Ville de Havre, dan mendapati bahwa kapal tersebut menabrak kapal lain (the Lochearn) di mid-Atlantic dan menelan korban 261 orang termasuk ke empat anak perempuannya. Ny. Spafford, yang telah diselamatkan, mengirim telegram kepadanya yang berbunyi: “Selamat seorang diri.” Horatio kemudian naik kapal berikutnya yang ada untuk menemui istrinya, ia akan diberitahukan oleh kapten kapal tersebut titik di mana anak-anaknya tenggelam. Pada saat itulah ia menulis syair-syair berikut: <br>Ketika damai bagaikan sungai mengalir di jalanku,<br>Ketika penderitaan bagaikan ombak besar menggulung,<br>Apapun bagian hidupku, Engkau telah mengajarku berkata,<br>“Selamatlah, selamatlah jiwaku.” | “Roh Kudus telah mendorong orang-orang taat untuk terus bertepuk tangan karena sukacita sampai kedatangan Juruselamat yang dijanjikan,” sebagaimana ditulis oleh John Calvin dalam komentarnya tentang Mazmur 47:1-2. Paulus pasti akan sangat setuju! Menulis dari penjara di mana ia tidak tahu untuk melepaskan diri selain eksekusi atas dirinya, maka apa yang muncul dalam benaknya adalah sukacita. Sukacita adalah apa yang menjadi surat untuk Orang-orang Filipi. Begitu bersukacitanya Orang-orang Filipi sehingga George B. Duncan pernah menyebutnya sebagai “hidup dengan sukacita yang tak putus-putusnya.” Kebalikan dari sukacita adalah dukacita, dan kita tidak ditakdirkan untuk berdukacita. Para Pembaharu mendapati sentralitas dari sukacita dalam kasih orang-orang Kristen ketika mereka berteguh hati bahwa tujuan utama kita dalam kehidupan adalah “memuliakan Allah dan menikmati kasihNya selamanya” (WSC, Q. 1). <br>Orang-orang Kristen sudah tentu tergoda untuk merasa putus-asa dan tertekan oleh tekanan keadaan yang amat hebat. Namun dalam situasi seperti itu, kita harus berkata kepada diri kita sendiri bahwa kita tidak patut merasakan apa yang kita rasakan! Paulus, yang tahu bahwa berada di dalam penjara, didera dan diludahi, tidak diacuhkan dan diabaikan, mengajak kita untuk bersukacita, tanpa menghiraukan apa yang kita rasakan: “Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan; sekali lagi kukatakan, bersukacitalah” (Filipi 4:4). <br>Sukacita Digambarkan <br>Paulus bukanlah seorang yang meminta orang lain melakukan apa yang ia sendiri tidak lakukan. Itulah sebabnya, kita bisa melihat dari catatan selama hidupnya bahwa ia bersukacita bahkan dalam situasi yang sangat sulit dan penuh ujian. <br>Dipenjarakan karena ketaatan pada Injil, rasul ini kehilangan kebebasan dan martabatnya. Ia mungkin mempunyai dendam pribadi tentang keadaannya. Pastilah, orang-orang Filipi sangat sulit untuk memahami hikmah di balik semua ini: bahwa hamba Allah yang sangat berharga dikurung di dalam penjara. Sebagian orang mempertanyakan kebijaksanaan atau kedaulatan Allah. Bahkan sebagian mungkin telah mempertanyakan kedua-duanya! <br>Perasaan Paulus mungkin telah memperlihatkan bahwa depresi, dendam, atau amarah adalah respons yang tepat. Namun sebaliknya, rasul tersebut mencari hal-hal baik dari keadaannya seperti itu. Akibat dari pemenjaraannya, sebagian anggota pengamanan istana Kaisar telah diperkenalkan kepada Injil. Paulus boleh saja dipenjara namun “firman Allah tidak terbelenggu” (2 Tim. 2:9). Bagi sang rasul, penginjilan bagi pengawal penguasa Romawi ini patut dibayar dengan penderitaannya. Kendati berada dalam bahaya, Paulus mampu bersukacita karena ia melihat rencana lain, yaitu sesuatu yang mempertimbangkan motif yang lebih besar daripada kesenangan dirinya saat ini.<br>Paulus mempunyai musuh yang ingin mencelakakannya. Yang mencengangkan adalah bahwa musuh tersebut adalah teman sesama pemberita Injil yang iri dengan keberhasilan dan popularitas Paulus. Mereka berkhotbah untuk memperburuk penderitaan Paulus, yang menyangka bahwa dengan bertindak demikian maka mereka akan “memperberat bebanku dalam penjara” (Fil. 1:17). Sebagian kelihatan cukup senang melihat sang rasul menerima apa yang mereka anggap patut diterimanya. <br>Paulus berada di bawah kekuasaan pengadilan Romawi. Pada pasal pertama ia telah mengatakan tentang kemungkinan akan kematiannya (Fil. 1:20). Kemudian, ia lebih memperluas hal ini dengan mengatakan, “Aku akan dicurahkan sebagai korban minuman” (2:17). Ini adalah pengakuan yang reaslistis dari sang rasul bahwa kerja keras dan penderitaannya akan mengantar ia ke kesyahidan. Apakah rasul putus asa? Apakah ia mendendam? Sama sekali tidak! “Aku bersukacita dan bersukacita dengan kamu sekalian,” tambahnya. <br>Sukacita Menjelma <br>Dapatkah kita menguraikan dengan lebih jelas apa yang dimaksud dengan sukacita dari apa yang ditulis Paulus di Filipi? Dua kebenaran teologis membawa sumber sukacita ke titik fokus. Pertama, Sukacita adalah hasil dari kebersamaan kita dengan Kristus. Allah menciptakan kita, dan kemudian menciptakan kita kembali dalam Kristus, untuk menjalin hubungan yang mendalam dan kekal; ini adalah sumber dari sukacita kita yang paling besar. Namun tidak ada suatu hubungan yang melebihi persahabatan kita dengan Yesus Kristus dalam Injil. Paulus memulai suratnya kepada orang-orang Filipi dengan mengingatkan para pembaca Kristen di sana tentang hubungan mereka dengan Yesus Kristus: mereka ada “di dalam Kristus” (1:1). Dengan melakukan hal itu, Paulus menekankan suatu kebenaran fundamental. Iman, sebagaimana Yesus peringatkan kepada murid-muridnya, adalah percaya “di dalam” Kristus (Joh 14:12). Iman mencakup suatu kesatuan dimana kita sepenuhnya bergantung pada sumber dari yang lain. Kebenaran ini dijelaskan dalam analogi hortikultural Yesus. Ia adalah pokok anggur, kita adalah carang-carangnya (Joh 15). Yesus meyakinkan para muridnya: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (v. 11). Tidak jelas apakah Yesus ingin mengatakan bahwa orang percaya adalah penerima sukacita atau obyek sukacita. Mungkin kedua-duanya. Kristus mengembalikan kepada kita – yang telah kehilangan sukacita – sukacita yang Ia dapatkan pada kita! Dan ketika Ia melihat kita berbuah sebagaimana seharusnya, termasuk, sudah tentu, sukacita (Gal. 5:22), ini membuat Ia bersukacita juga! Mungkin sekarang kita bisa melihat pentingnya sukacita dalam hidup kita: karena hal itu menyenangkan hati Juruselamat kita! <br>Kedua, sukacita mengalir dari rasa manisnya kasih karunia. Jawaban atas dukacita adalah mengingatkan diri kita tentang bagaimana nasib kita apabila jauh dari kasih karunia Allah. “Kasih karunia, adalah suara yang sangat indah,” sebagaimana ditulis oleh Philip Doddridge, dengan demikian menggemakan apa yang selalu dirasakan oleh orang Kristen tentang perlakuan Allah terhadap kita. Kasih karunia adalah kata-kata pembuka dan penutup dari surat ini (Fil. 1:2; 4:23). Dan kalimat pembuka berikut ia beritahukan kepada orang-orang Filipi tentang betapa ia bersukacita setiap kali ia mengingat akan mereka, serta menambahkan bahwa sukacita itu adalah karena “kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia” (1:7). Orang Kristen mendapatkan sukacita mereka sebagaimana Allah telah memperlakukan mereka.<br>Sukacita berasal dari pengetahuan akan nilai dari apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Ketika Paulus menjadi orang Kristen, sesuatu terjadi padanya: penilaian yang ia berikan terhadap sesuatu yang ada di dunia ini berubah. Kasih karusia Allah menjadi obyek dari kesenangan utamanya. Sebaliknya, baubles dunia ini yang ia perkirakan berasal dari kata Yunani skybala — sampah yang diserahkan secara sensitif dalam Versi Standar Inggris, tetapi lebih tepat adalah “kotoran hewan” (3:8). Sebagai perbandingan terhadap apa yang Allah telah anugerahkan kepadanya – kebenaran yang bukan miliknya — Paulus terdesak untuk ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kasih karunia Allah yang luar biasa ini (3:7–10). <br>Sukacita Dikendalikan <br>Ada dua hal: Pertama, sepanjang yang kita bisa, kita harus belajar mengendalikan perasaan kita. Ada berbagai macam depresi, dan sebagian adalah akibat dari gangguan fisik dan psikologis yang kompleks. Akan tetapi ada saatnya dimana kita merasa depresi secara spiritual atau bahkan dengan alasan yang tidak jelas. Kadang-kadang hal terbaik yang harus kita lakukan dengan perasaan kita adalah menantangnya: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah; Sebab aku bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku “ (Mzm. 42:11). <br>Terlalu sering kita menghabiskan waktu dalam hari-hari kita bersedih dan murung, semua itu karena kita tidak secara serius melakukan apa yang kita tahu adalah benar tentang kebenaran Allah dan perlindungannya terhadap kita. Kita harus berdoa dan minta Allah untuk memberikan kekuatan kepada kita untuk melawan keadaan depresif dan melankolis itu. Ada yang disebut kemauan yang tak akan tunduk kepada kehendak Allah. Kita bisa menjadi keras hati, menolak untuk melihat karya Allah yang baik. Ini adalah penyakit kanker yang akan menghancurkan kita. <br>Kedua, tidak perduli apapun keadaan kita, kita harus mencari alasan yang mendorong kita untuk bersukacita. Kita juga harus “bersukacita dalam penderitaan” (Rom. 5:3). Saya ingat cerita tentang Horatio Spafford, seorang pengusaha di Chicago di tahun 1873 yang kehilangan seluruh bisnisnya dalam kebakaran di Chicago. Ia mengirim istri dan ke empat anak perempuanya ke Inggris dengan kapal SS. Ville de Havre, dan mendapati bahwa kapal tersebut menabrak kapal lain (the Lochearn) di mid-Atlantic dan menelan korban 261 orang termasuk ke empat anak perempuannya. Ny. Spafford, yang telah diselamatkan, mengirim telegram kepadanya yang berbunyi: “Selamat seorang diri.” Horatio kemudian naik kapal berikutnya yang ada untuk menemui istrinya, ia akan diberitahukan oleh kapten kapal tersebut titik di mana anak-anaknya tenggelam. Pada saat itulah ia menulis syair-syair berikut: <br>Ketika damai bagaikan sungai mengalir di jalanku,<br>Ketika penderitaan bagaikan ombak besar menggulung,<br>Apapun bagian hidupku, Engkau telah mengajarku berkata,<br>“Selamatlah, selamatlah jiwaku.” | ||
- | Inilah cara hidup yang Tuhan inginkan dari kita. Kita tidak punya hak untuk mengharapkan bahwa hidup kita akan bebas dari persoalan. Namun dalam setiap keadaan, bila kita adalah pengikut Tuhan, kita diyakinkan akan perlindungan dan pemenuhan akan segala kebutuhan kita dari Allah. Ia mengerjakan setiap detil. Tidak terdapat kesalahan padaNya (Rom. 8:32ff.). Keberadaan kita setiap saat sudah cukup menjadi alasan untuk bersukacita: hal baik dan buruk bersama-sama bersatu untuk menciptakan suatu simponi haleluya untuk pujian kepada Allah yang Maha Agung | + | Inilah cara hidup yang Tuhan inginkan dari kita. Kita tidak punya hak untuk mengharapkan bahwa hidup kita akan bebas dari persoalan. Namun dalam setiap keadaan, bila kita adalah pengikut Tuhan, kita diyakinkan akan perlindungan dan pemenuhan akan segala kebutuhan kita dari Allah. Ia mengerjakan setiap detil. Tidak terdapat kesalahan padaNya (Rom. 8:32ff.). Keberadaan kita setiap saat sudah cukup menjadi alasan untuk bersukacita: hal baik dan buruk bersama-sama bersatu untuk menciptakan suatu simponi haleluya untuk pujian kepada Allah yang Maha Agung |
- | + | ||
- | + | ||
- | + | ||
- | + |
Current revision as of 20:52, 14 November 2008
“Roh Kudus telah mendorong orang-orang taat untuk terus bertepuk tangan karena sukacita sampai kedatangan Juruselamat yang dijanjikan,” sebagaimana ditulis oleh John Calvin dalam komentarnya tentang Mazmur 47:1-2. Paulus pasti akan sangat setuju! Menulis dari penjara di mana ia tidak tahu untuk melepaskan diri selain eksekusi atas dirinya, maka apa yang muncul dalam benaknya adalah sukacita. Sukacita adalah apa yang menjadi surat untuk Orang-orang Filipi. Begitu bersukacitanya Orang-orang Filipi sehingga George B. Duncan pernah menyebutnya sebagai “hidup dengan sukacita yang tak putus-putusnya.” Kebalikan dari sukacita adalah dukacita, dan kita tidak ditakdirkan untuk berdukacita. Para Pembaharu mendapati sentralitas dari sukacita dalam kasih orang-orang Kristen ketika mereka berteguh hati bahwa tujuan utama kita dalam kehidupan adalah “memuliakan Allah dan menikmati kasihNya selamanya” (WSC, Q. 1).
Orang-orang Kristen sudah tentu tergoda untuk merasa putus-asa dan tertekan oleh tekanan keadaan yang amat hebat. Namun dalam situasi seperti itu, kita harus berkata kepada diri kita sendiri bahwa kita tidak patut merasakan apa yang kita rasakan! Paulus, yang tahu bahwa berada di dalam penjara, didera dan diludahi, tidak diacuhkan dan diabaikan, mengajak kita untuk bersukacita, tanpa menghiraukan apa yang kita rasakan: “Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan; sekali lagi kukatakan, bersukacitalah” (Filipi 4:4).
Sukacita Digambarkan
Paulus bukanlah seorang yang meminta orang lain melakukan apa yang ia sendiri tidak lakukan. Itulah sebabnya, kita bisa melihat dari catatan selama hidupnya bahwa ia bersukacita bahkan dalam situasi yang sangat sulit dan penuh ujian.
Dipenjarakan karena ketaatan pada Injil, rasul ini kehilangan kebebasan dan martabatnya. Ia mungkin mempunyai dendam pribadi tentang keadaannya. Pastilah, orang-orang Filipi sangat sulit untuk memahami hikmah di balik semua ini: bahwa hamba Allah yang sangat berharga dikurung di dalam penjara. Sebagian orang mempertanyakan kebijaksanaan atau kedaulatan Allah. Bahkan sebagian mungkin telah mempertanyakan kedua-duanya!
Perasaan Paulus mungkin telah memperlihatkan bahwa depresi, dendam, atau amarah adalah respons yang tepat. Namun sebaliknya, rasul tersebut mencari hal-hal baik dari keadaannya seperti itu. Akibat dari pemenjaraannya, sebagian anggota pengamanan istana Kaisar telah diperkenalkan kepada Injil. Paulus boleh saja dipenjara namun “firman Allah tidak terbelenggu” (2 Tim. 2:9). Bagi sang rasul, penginjilan bagi pengawal penguasa Romawi ini patut dibayar dengan penderitaannya. Kendati berada dalam bahaya, Paulus mampu bersukacita karena ia melihat rencana lain, yaitu sesuatu yang mempertimbangkan motif yang lebih besar daripada kesenangan dirinya saat ini.
Paulus mempunyai musuh yang ingin mencelakakannya. Yang mencengangkan adalah bahwa musuh tersebut adalah teman sesama pemberita Injil yang iri dengan keberhasilan dan popularitas Paulus. Mereka berkhotbah untuk memperburuk penderitaan Paulus, yang menyangka bahwa dengan bertindak demikian maka mereka akan “memperberat bebanku dalam penjara” (Fil. 1:17). Sebagian kelihatan cukup senang melihat sang rasul menerima apa yang mereka anggap patut diterimanya.
Paulus berada di bawah kekuasaan pengadilan Romawi. Pada pasal pertama ia telah mengatakan tentang kemungkinan akan kematiannya (Fil. 1:20). Kemudian, ia lebih memperluas hal ini dengan mengatakan, “Aku akan dicurahkan sebagai korban minuman” (2:17). Ini adalah pengakuan yang reaslistis dari sang rasul bahwa kerja keras dan penderitaannya akan mengantar ia ke kesyahidan. Apakah rasul putus asa? Apakah ia mendendam? Sama sekali tidak! “Aku bersukacita dan bersukacita dengan kamu sekalian,” tambahnya.
Sukacita Menjelma
Dapatkah kita menguraikan dengan lebih jelas apa yang dimaksud dengan sukacita dari apa yang ditulis Paulus di Filipi? Dua kebenaran teologis membawa sumber sukacita ke titik fokus. Pertama, Sukacita adalah hasil dari kebersamaan kita dengan Kristus. Allah menciptakan kita, dan kemudian menciptakan kita kembali dalam Kristus, untuk menjalin hubungan yang mendalam dan kekal; ini adalah sumber dari sukacita kita yang paling besar. Namun tidak ada suatu hubungan yang melebihi persahabatan kita dengan Yesus Kristus dalam Injil. Paulus memulai suratnya kepada orang-orang Filipi dengan mengingatkan para pembaca Kristen di sana tentang hubungan mereka dengan Yesus Kristus: mereka ada “di dalam Kristus” (1:1). Dengan melakukan hal itu, Paulus menekankan suatu kebenaran fundamental. Iman, sebagaimana Yesus peringatkan kepada murid-muridnya, adalah percaya “di dalam” Kristus (Joh 14:12). Iman mencakup suatu kesatuan dimana kita sepenuhnya bergantung pada sumber dari yang lain. Kebenaran ini dijelaskan dalam analogi hortikultural Yesus. Ia adalah pokok anggur, kita adalah carang-carangnya (Joh 15). Yesus meyakinkan para muridnya: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (v. 11). Tidak jelas apakah Yesus ingin mengatakan bahwa orang percaya adalah penerima sukacita atau obyek sukacita. Mungkin kedua-duanya. Kristus mengembalikan kepada kita – yang telah kehilangan sukacita – sukacita yang Ia dapatkan pada kita! Dan ketika Ia melihat kita berbuah sebagaimana seharusnya, termasuk, sudah tentu, sukacita (Gal. 5:22), ini membuat Ia bersukacita juga! Mungkin sekarang kita bisa melihat pentingnya sukacita dalam hidup kita: karena hal itu menyenangkan hati Juruselamat kita!
Kedua, sukacita mengalir dari rasa manisnya kasih karunia. Jawaban atas dukacita adalah mengingatkan diri kita tentang bagaimana nasib kita apabila jauh dari kasih karunia Allah. “Kasih karunia, adalah suara yang sangat indah,” sebagaimana ditulis oleh Philip Doddridge, dengan demikian menggemakan apa yang selalu dirasakan oleh orang Kristen tentang perlakuan Allah terhadap kita. Kasih karunia adalah kata-kata pembuka dan penutup dari surat ini (Fil. 1:2; 4:23). Dan kalimat pembuka berikut ia beritahukan kepada orang-orang Filipi tentang betapa ia bersukacita setiap kali ia mengingat akan mereka, serta menambahkan bahwa sukacita itu adalah karena “kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia” (1:7). Orang Kristen mendapatkan sukacita mereka sebagaimana Allah telah memperlakukan mereka.
Sukacita berasal dari pengetahuan akan nilai dari apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Ketika Paulus menjadi orang Kristen, sesuatu terjadi padanya: penilaian yang ia berikan terhadap sesuatu yang ada di dunia ini berubah. Kasih karusia Allah menjadi obyek dari kesenangan utamanya. Sebaliknya, baubles dunia ini yang ia perkirakan berasal dari kata Yunani skybala — sampah yang diserahkan secara sensitif dalam Versi Standar Inggris, tetapi lebih tepat adalah “kotoran hewan” (3:8). Sebagai perbandingan terhadap apa yang Allah telah anugerahkan kepadanya – kebenaran yang bukan miliknya — Paulus terdesak untuk ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kasih karunia Allah yang luar biasa ini (3:7–10).
Sukacita Dikendalikan
Ada dua hal: Pertama, sepanjang yang kita bisa, kita harus belajar mengendalikan perasaan kita. Ada berbagai macam depresi, dan sebagian adalah akibat dari gangguan fisik dan psikologis yang kompleks. Akan tetapi ada saatnya dimana kita merasa depresi secara spiritual atau bahkan dengan alasan yang tidak jelas. Kadang-kadang hal terbaik yang harus kita lakukan dengan perasaan kita adalah menantangnya: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah; Sebab aku bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku “ (Mzm. 42:11).
Terlalu sering kita menghabiskan waktu dalam hari-hari kita bersedih dan murung, semua itu karena kita tidak secara serius melakukan apa yang kita tahu adalah benar tentang kebenaran Allah dan perlindungannya terhadap kita. Kita harus berdoa dan minta Allah untuk memberikan kekuatan kepada kita untuk melawan keadaan depresif dan melankolis itu. Ada yang disebut kemauan yang tak akan tunduk kepada kehendak Allah. Kita bisa menjadi keras hati, menolak untuk melihat karya Allah yang baik. Ini adalah penyakit kanker yang akan menghancurkan kita.
Kedua, tidak perduli apapun keadaan kita, kita harus mencari alasan yang mendorong kita untuk bersukacita. Kita juga harus “bersukacita dalam penderitaan” (Rom. 5:3). Saya ingat cerita tentang Horatio Spafford, seorang pengusaha di Chicago di tahun 1873 yang kehilangan seluruh bisnisnya dalam kebakaran di Chicago. Ia mengirim istri dan ke empat anak perempuanya ke Inggris dengan kapal SS. Ville de Havre, dan mendapati bahwa kapal tersebut menabrak kapal lain (the Lochearn) di mid-Atlantic dan menelan korban 261 orang termasuk ke empat anak perempuannya. Ny. Spafford, yang telah diselamatkan, mengirim telegram kepadanya yang berbunyi: “Selamat seorang diri.” Horatio kemudian naik kapal berikutnya yang ada untuk menemui istrinya, ia akan diberitahukan oleh kapten kapal tersebut titik di mana anak-anaknya tenggelam. Pada saat itulah ia menulis syair-syair berikut:
Ketika damai bagaikan sungai mengalir di jalanku,
Ketika penderitaan bagaikan ombak besar menggulung,
Apapun bagian hidupku, Engkau telah mengajarku berkata,
“Selamatlah, selamatlah jiwaku.”
Inilah cara hidup yang Tuhan inginkan dari kita. Kita tidak punya hak untuk mengharapkan bahwa hidup kita akan bebas dari persoalan. Namun dalam setiap keadaan, bila kita adalah pengikut Tuhan, kita diyakinkan akan perlindungan dan pemenuhan akan segala kebutuhan kita dari Allah. Ia mengerjakan setiap detil. Tidak terdapat kesalahan padaNya (Rom. 8:32ff.). Keberadaan kita setiap saat sudah cukup menjadi alasan untuk bersukacita: hal baik dan buruk bersama-sama bersatu untuk menciptakan suatu simponi haleluya untuk pujian kepada Allah yang Maha Agung